Sunday, August 22, 2010

Repost: Lou | Tepian Hati





Keindahan pantai Ben sudah tidak seindah ketika matahari masih menemaninya. Cahayanya sudah tergantikan dengan kerlip bintang dan beberapa lampu jalanan yang mulai menyala di pinggir jalan. Pedagang-pedagang di sepanjang pantai inipun mulai menyiapkan dagangannya untuk para penikmat malam pantai Ben.

Syl baru saja pulang setelah mengantarkanku berjalan ke rumah. Setelah mandi aku ke dapur membuat secangkir teh untuk diriku sendiri. Tegukan demi tegukan teh itu aku rasakan menghangatkan kerongkonganku, sementara pikiranku melayang mengenai kejadian hari ini. Masalah Nan dan kehadiran Syl. 

Hari ini mereka berbaur dengan hidupku, pikiran dan hatiku. Aku merasa terbebani. Untuk masalah Nan, aku ingin berteriak marah, tapi pada siapa? Siapa yang bisa aku salahkan? Lalu siapa yang memberikanku hak untuk marah?. Lantas untuk kehadiran Syl, hatiku juga tidak ingin menebak-nebak perlakuannya akhir-akhir ini, tapi layakkah aku pertanyakan?.. Dia hanya datang sebagai sahabat, apa yang salah disitu?.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ini salahku. Aku terlalu banyak menyimpan masalah orang lain, rahasia orang lain bahkan lebih dalam lagi, masalah dan rahasiaku sendiri. Mereka harus tahu, aku bukan malaikat pendengar setia. Aku tidak punya cukup banyak ruang dalam diriku untuk semua itu. Seandainya aku bisa melepaskan beban ini, tapi sayang aku tidak bisa. It's about one-way door in it.

 

Keesokan harinya aku kedatangan tamu. Adik-adikku, sikembar Dian dan Dani. Mereka sudah lama ingin mengunjungiku lagi, dan aku sangat senang ketika pagi-pagi sekali Dian menelponku menyatakan keinginannya. Karena ini adalah hari sabtu, akupun langsung ke pasar pagi untuk menyiapkan bahan-bahan untuk bisa kumasak buat mereka.

"Bapak masih seperti biasa, tapi wajahnya lebih cerah sejak bertemu kakak, apalagi kalau kakak menelponnya", jawab Dian ketika aku menanyakan keadaan bapak. Memang, sejak pertemuan itu, sudah 2 kali aku menelponnya untuk sekedar menanyakan keadaannya.

Dian membantuku memasak di dapur, ketika aku melihat Dani berdiri dipintu dapur. "Kak Lou, boleh aku pinjam pianonya?", tanyanya seperti takut aku tidak mengizinkannya. 

"Oh, tentu saja boleh. Kamu bisa memainkannya?", tanyaku. Anggukan Dani bersamaan dengan jawaban Dian, "Dani jagonya mbak, piano itu seperti pacarnya. Hahaha...". Lalu kami tertawa bersama. Mereka memang beda. Yang satu selalu bicara, yang satu kebalikannya dan aku menyayangi mereka.

Tak lama, suara piano yang sudah lama tidak aku sentuh itu memperdengarkan nyanyiannya. Dani memainkan nada-nada yang  sepertinya sering dimainkannya. "Kamu juga suka bermain piano?" tanyaku pada Dian yang sedang mengupas bawang dengan mata yang berkedip basah karena perih. "Nggak. Aku tidak suka bermain alat musik. Aku lebih suka yang lebih menghiburku. Mendengarkan musik, nonton, dan jalan-jalan", jawabnya sambil terus melakukan aktifitasnya.

"Aku memang beda dengan Dani. Aku lebih terbuka dan dia orang yang tertutup. Perasaannya seperti perempuan kak. Peka. Dan ketika dia punya masalah, dia akan lebih banyak diam dan berlama-lama dikamarnya". Perkataan Dian menarik perhatianku.

"Apa yang Dani lakukan dikamarnya?"
tanyaku ingin tahu.
"Sepertinya berdoa. Hehehe.. mungkin dia ingin jadi biarawan, tapi kadang-kadang memainkan pianonya. Aku yang menyarankan supaya piano itu ditaruh dikamarnya, supaya dia lebih tenang dan menghibur dirinya sendiri.."
"Tapi sepertinya dia dekat denganmu, apakah dia menceritakan masalahnya padamu?"
"Tidak. Tapi dia akan menjawab dia baik-baik saja dan jika tidak, dia akan diam saja. Memangnya kenapa, kak?"
"Oh, nggak.. aku hanya ingin tahu.."
,jawabku mencoba menutupi apa yang sedang aku pikirkan.

Siang itu kami menikmati makan siang bersama. Sesekali Dian menceritakan sesuatu yang membuatku tergelak dan aku melihat  Dani yang hanya tersenyum melihat polah kembarannya. Setelah makan, Dian mendapat telpon dari temannya. Sementara itu, Dani membantuku membereskan meja makan dan mencuci piring.

"Kamu pendiam sekali, Dani", kataku memecah keheningan di dapur.
"Aku memang seperti ini", jawabnya tenang.
"Apa karena kamu memikirkan banyak hal?". Dani menggeleng. "Aku hanya lebih nyaman dengan keadaan ini", jawabnya.
"Dengan masalahmu?"tanyaku lagi.
"Dengan hidupku", jawabnya sambil tersenyum menatapku. 
Aku mulai tertarik dengan obrolan ini, setidaknya aku melihat ada kesamaan antara aku dan dirinya.

Kami selesai dengan urusan dapur dan aku melihat Dian masih berbicara di telpon sambil menonton TV.
"Boleh aku naik ke teras atas, kak?" tanya Dani.
"Ya, silahkan.." jawabku sambil melangkah ke arah telpon yang sedang berdering.

"Halo?"
"Lou?.. "
. Isi kepalaku tidak melupakan suara itu.
"Ya, Syl.. ini Lou, apa khabar?", sedikit gugup aku menjawabnya.
"Are you ok?" tanyanya.
"Ya, kenapa?". Bingung.
"Good, jadi sekarang aku bisa menawarkan makan malam. Bagaimana?", aku mendengar tawanya diujung sana.
Ya, dia senang ketika aku mengiyakan tawarannya. Aku juga, tapi entahlah aku ingin menikmati dulu perasaan ini. Terlalu dini untuk mengira-ngira perasaan Syl yang sebenarnya padaku.

Setelah telpon itu, aku menyusul Dani di teras atas. Dia sedang duduk di kursi yang biasa aku duduki disaat kesendirianku. Pandangannya mengarah ke laut dan dia menikmatinya. Dia tersenyum melihatku. Akupun duduk di sebelahnya.
"Kamu suka menyendiri juga?". Dia mengangguk.
"Apa yang kamu lakukan dalam kesendirianmu, apakah kamu berpikir?" . Dani menggeleng.
"Lalu?" tanyaku.
"Berdoa..", jawabnya datar.

Berdoa. Aku menyandarkan kepalaku dan melakukan hal yang sama dengan Dani. Memandang jauh lautan.
Sudah lama aku tidak pernah melakukannya. Rasanya sudah bertahun - tahun aku tidak pernah berdoa. Kekecewaan, kesibukan dan kesendirianku telah membuatku tidak pernah membina hidupku dengan Tuhan.
Mungkin sekarang aku lupa bagaimana cara berdoa atau mungkin Tuhan tidak lagi mengenalku.
-----------

Dani dan Dian sudah pulang dari sore tadi. Sekarang aku sedang bersiap untuk makan malamku dengan Syl. Aku mengenakan setelan rok kembang dan atasan putih gading. Rambut ikalku digerai seperti biasa. Aku mencoba dandan casual saja malam ini.
Syl sudah menungguku di luar. Dia berdiri di depan pagar ketika aku keluar dan mengunci pintu rumah. Senyumannya membuatku gugup.

Didalam perjalanan, kami berbicara seperti biasa, tapi sekali-kali Syl menatapku dan aku merasa dia memperhatikan pakaian yang kukenakan. Rasanya pakaian itu biasa saja dan sedikit memperlihatkan bahuku lebih lebar.
"Kamu cantik, Lou..". Pujian itu membuatku tersipu.
"Thanks..". Tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan. Kemudian kami terdiam sepanjang perjalanan sampai akhirnya sampai juga di sebuah restoran, yang aku tahu cukup terkenal dan mewah di daerah ini.

"Kenapa masih sendiri, Lou?", tanya Syl ketika kami sedang menikmati makan malam itu.
"heh?.. maksudnya?", tanyaku bingung.
"kamu, mengapa kamu belum menikah?"
"kenapa kamu bertanya itu?.. apakah kamu melihat sesuatu dariku yang menyebabkan aku belum menikah?",
aku balik bertanya.
"bukan, aku tidak melihat sesuatu itu. Aku hanya ingin tahu".
Aku memandang kedua matanya, mencari-cari maksud perkataannya barusan. Tapi yang ada, justru pandangan mata itu menggetarkan hatiku lagi. Aku mengalihkan pandanganku pada piring dihadapanku. "Mungkin belum..", sahutku sembari melanjutkan suapanku.

"Aku menyukaimu.."
ucapannya nyaris membuatku tersedak. 
Tapi aku langsung menjawab, "banyak orang menyukaiku,..aku tahu itu..hehehe". Mencoba bercanda mungkin lebih membantuku untuk tidak merasa melayang karena ucapannya.
Tapi Syl bersikap sebaliknya, tidak menganggap itu lucu. Dia menggapai tanganku yang bersebrangan dengannya. "Beri aku kesempatan..".
 
Aku terdiam tidak percaya apa yang kudengar barusan. Aku berharap bukan aku yang duduk dihadapannya, karena begitu cepat permintaan itu terucap. Bukankah dia sangat mencintai Julee. Mengapa ia ingin bersamaku, dan secepat itu?

Aku tidak menjawab permintaan Syl itu sampai dia mengantarku pulang. Aku belum siap untuk status itu. Terlalu dini jika aku memutuskan menjawab iya, walaupun hatiku bersorak waktu dia memintanya. Bukan hal yang gampang diputuskan.
Syl mengantarkanku sampai ke depan pintu pagar. "Beri aku jawaban segera, Lou.." pesannya sebelum aku masuk ke rumah. Aku mengangguk dan masuk.

**********
Reposted from mbakpuak.com : [lou] Rasakan beban hatiku - 060409

(puak kangen lou)


2 comments:

  1. jadi, akhirnya Lou jadi gak sama Syl? atau..Lou malah jadi sama Edward?? HIhii...

    Kangenku pada tulisanmu terobati, Mbak Puak!
    Nice story.

    ReplyDelete
  2. hah!.. Edward itu hanya tercipta untukku, tahu!.. :P

    Thanks ya.. akupun kangen.

    ReplyDelete

Related Posts with Thumbnails