Tuesday, August 24, 2010

Lou | Pantai Ben



"Aku akan mati jika kamu pergi meninggalkanku..", ucapku sewaktu duduk berdua dengan Ben dikursi pantai di teras atas rumahku. Aku duduk bersandar pada dada Ben dan dia memeluk dari belakang. Kami menikmati senja yang berwarna kemerahan dan menunggu indahnya langit itu saat mataharinya tenggelam.

"Kita tidak bisa melawan takdir, Lou.. kalaupun aku bisa, aku akan melawannya dan terus memelukmu seperti ini"..
"Oh, come on.. Lou, jangan menangis lagi. Percayalah, aku tidak akan begitu saja meninggalkanmu. Kamu selalu ada disini.. ". Iya meraih tanganku dan meletakkannya didadanya. Di kursi yang sempit buat aku dan Ben duduk itu, aku memeluk tubuhnya.. menangis dan seakan tidak ingin melepaskannya.

Aku sudah tahu, umur Ben tidak akan lama lagi. Dari awal dia memberitahukan penyakit Leukimianya, dia melatihku untuk belajar menerima takdir dari hari ke hari. Namun, sekuat-kuatnya aku melatih diriku menerima keadaan akan ditinggalkan Ben, semakin terasa rapuh hatiku. Bagaimana tidak, setiap kali ia harus muntah darah dan menemaninya terbaring kesakitan di rumah sakit, selalu membuatku menangis.

"Kamu tahu, Lou?.. seluruh badan ini terasa sakit dan lelah tak terkira, tapi melihat senyummu, belaian tanganmu, dan pelukanmu.. membuat jiwaku sungguh lebih tegar dibandingkan badanku..", ucapnya ketika aku menemaninya setelah cuci darah karena ginjalnya yang sudah tidak lagi berfungsi baik.

"Andai saja ada yang lebih besar dari ini yang bisa aku lakukan supaya kamu sembuh dan menjadikan mimpi-mimpi kita menjadi nyata, Ben.. apapun itu, akan aku lakukan..", jawabku sambil membelai rambutnya.

"Lou..?" tanya Ben, membuyarkan lamunanku.
"Hmm..?"
"Pantai ini selalu indah ketika kamu memelukku seperti ini.."
"Ya.. dan sejak kamu datang dan menemaniku di rumah ini.."
 
"Berjanjilah padaku.. "

"Berjanji?.." tanyaku sambil bangun dari pelukannya dan menatapnya.

"Kamu akan menatapku ketika memandang pantai indah ini... agar akupun tahu, kamu tidak akan melupakanku, melupakan cinta kita.. ", jawabnya sambil tersenyum.

"Tentu saja.. kamu dan pantai ini, Ben.. adalah hidupku.."

"Setidaknya pantai ini tetap ada, setelah aku pergi.." 

"tentu saja.. "


-------------------------------------
Don duduk terdiam di seberangku. Matanya nanar menatapku. Setelah aku menyampaikan apa yang terjadi dengan Nan, mantan istrinya.. Don diam terpaku. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tapi aku membiarkan Don dan pikirannya. Aku sendiri gugup seakan merasakan sendiri penderitaan Nan. Tidak tahan dengan posisiku saat ini, akupun menyalakan rokok yang aku rogoh dari tas ku.

Mungkin asap rokokku, menyadarkan Don. "Katakan sekali lagi, Lou.. ini hanya bualan..", tanyanya dengan mata yang menakutkan buatku sementara ini. Aku terhenyak demi mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir pria yang dulu sangat memuja Nan ini.

"Bualan kau bilang, Don?" tanyaku sambil mematikan rokok di asbak di depanku.
"Iya!.. aku tidak percaya. Ini hanya bualan Nan. Aku tahu, mereka tak akan mampu membesarkan anak itu dengan pekerjaan suaminya sekarang..!"

"Hei! ..jaga ucapanmu!! begitukah hati nuranimu menjawab kisah maut mantan istrimu??" teriakku.

"Dimana dulu cinta yang kau agung-agung kan??... dimana Don yang dulu aku banggakan karena cintanya yang meluap untuk Nan??.. apakah karena dulu kau miskin?.. Menguras keringat demi cita-cita untuk bisa menikahi Nan??.. "
, sambungku dengan emosi.

"Dia yang duluan berkhianat, Lou!.. apa kau lupa?", tanyanya tak kalah emosi.

"Itu karena dia tidak tahan, selalu jauh dari mu.. dia hanya ingin perhatian Don, bukan harta berharga yang kau tinggalkan setiapkali kau berangkat keluar negeri selama berbulan-bulan..". Aku menghela nafas. Menyadari, semakin kami berbicara dengan penuh emosi seperti ini, justru akan memperkeruh suasana.

"Itu bukan anakku, Lou..", jawabnya mengikutiku meredam emosi.

"Dia akan meninggal, itu sudah dipastikan. Paling tidak itulah yang harus didengarnya dari dokter, tapi tak tersentuhkan hatimu akan sebuah pengakuan seseorang yang akan menjadi mayat dan meninggalkan dunia yang seharusnya indah? Anak, Don..anak! Kalian dulu mendambakannya selama bertahun-tahun. Anak itu dipersembahkan sekarang.. tapi tanpa dekapan ibu.. tanpa air susu di payudara yang memberikannya kehangatan. Tegakah kau dengan nya?.. kalau kau masih tidak percaya, masih ada banyak test yang akan membuktikannya. Tapi itu nanti. Sekarang, berilah Nan kesempatan untuk bertemu denganmu dan mengungkapkannya sendiri dari mulutnya..
", ucapku panjang berharap bisa meyakinkan Don.

Don terdiam lagi dan menundukkan kepalanya menatap cangkir kosong dihadapannya. Don mengangkat kepalanya dan menatapku ketika aku menyentuh tangannya. Matanya yang tajam itu basah. "Percayalah, Don.. ini jawaban doa kalian yang tertunda..", ucapku meyakinkannya lagi. "Jika aku menjadi Nan, aku akan senang demi melihat kamu datang. Kalaupun dia salah maafkanlah. Toh, setelah itu kau tidak akan menemuinya lagi. Tapi sesuatu dari kalian akan ada pada anak itu. Aku mencintai kalian berdua. Kebahagian dan kesedihan kalian adalah bagian hidupku.."

Kami saling menggenggam tangan meyakinkan. "Maukah kau menemaniku, Lou?.. will you?". Aku mengangguk dan tersenyum.

--------------------------------------

Esoknya, aku dan Don ke rumah sakit dimana Nan akan operasi untuk melahirkan bayinya. Di ruangan tunggu, kami bertemu dengan Niko, suami Nan. Dia menganguk sopan sambil menyalami kami berdua. Orang tua Nan juga duduk disana dan kamipun menyalami mereka. Aku menyaksikan ruang tunggu itu adalah tempat orang-orang yang menyayangi Nan dan pikiran-pikiran mereka. Ruangan itu senyap. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kami sudah cukup dengan keadaan Nan didalam saat ini.

Operasi itu berjalan dengan lancar. Bayi perempuan yang cantik itu telah lahir dengan selamat ke dunia. Aku melihat Don, menatapnya dengan penuh kasih dari luar kaca dimana bayi itu terbaring dengan pulasnya. Mungkin Don terharu atau entah apa yang dirasakannya saat ini, ia meneteskan airmatanya. Pria yang jantan dan penuh kharisma itu, terlihat kuyu ketika air matanya mengalir membasahi pipinya yang kemudian dilapnya dengan cepat dengan punggung tangannya.

"Sekarang, Don?", tanyaku. Nan masih tidak sadarkan diri di ruangan ICU. Orang tua dan suaminya baru saja keluar untuk memberikan kesempatan pada Don untuk menemui Nan. Don mengangguk dan menghela nafas dalam.

"Masuklah bersama ku , Lou..."
, pintanya ketika kami sampi di depan pintu kamar Nan. Sebenarnya aku ingin membiarkan mereka berdua tapi Don memaksaku. Don tidak ingin aku sebagai saksi pernikahan yang menyatukan mereka dulu, tetapi juga untuk perpisahan ini.

Aku berdiri di ujung ranjang, sementara Don duduk dipinggir ranjang. Tanyanya menyentuh lengan Nan. "Apa khabar, Nan?.. lihatlah, aku datang menemuimu. Ada Lou juga. Dialah menyeretku untuk menemuimu disini seperti anak muridnya yang bandel...".

"Aku tahu, tidak ada yang perlu disesali dari semua ini Nan, tapi maafkanlah aku. Maafkanlah keangkuhanku. Aku yang menyebabkan cinta kita berantakan. Membiarkanmu kesepian di rumah, yang aku kira bisa membahagiakanmu. Walaupun aku sakit hati, Niko akhirnya menikahimu .. tapi aku tidak pernah rela cintaku dirampas olehnya. Namun, setelah tahu.. kau bahagia dengannya, aku kira aku bisa melepaskanmu dengan rela. Tapi mengapa Nan?.. Kau tidak memberitahuku soal bayi itu?.. Dia anakku kan, Nan?.. anakku... ", Don terisak. Diciumnya tangan Nan, diletakkannya di pipinya. 

"Tuhan, jangan ambil nyawanya. Aku mencintainya. Aku mencintainya..".

--------------------------------------

Diteras atas, aku menatap pantai Ben. Menatap Ben, yang bahagia dengan hidupnya sekarang. Pasti begitu juga dengan Nan. Meskipun mereka telah pergi, mereka telah memberikan cinta mereka sepenuhnya pada orang-orang terkasih yang mereka tinggalkan. Aku tidak harus mati mendahului takdirku untuk mengejar cintaku yang telah pergi. Ben selalu ada dihatiku. Hadir untuk mengingatku, maut tidak ada apa-apanya jika aku selalu merasakannya cinta yang pernah Ben berikan padaku.

"Lou!..", aku terhenyak. Di bawah sana, aku melihat Syl berdiri didepan pagarku dan menatapku.

**********
Reposted from mbakpuak.com : [lou] Pantai Ben - 200409

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails