Monday, September 20, 2010

Laksmi

Cerita bagus dari De Mello.. simaklah..

---------------


JAWABAN DEWI LAKSMI YANG TERTUNDA

Tidak ada gunanya doa kita dikabulkan kalau tidak dikabulkan pada waktu yang tepat:

Di  zaman  India kuno banyak tenaga dicurahkan untuk upacara Yeda yang  dikatakan  begitu  ilmiah  dalam pelaksanaannya, hingga  kalau  para  orang  suci  berdoa  mohon hujan, tidak pernah ada  kekeringan.  Demikianlah  seseorang  mencurahkan usaha  mau  berdoa,  sesuai  dengan  upacaranya, kepada dewi kekayaan, Laksmi, dan mohon supaya dijadikan kaya.

Ia berdoa  tanpa  hasil  sepanjang  sepuluh  tahun  lamanya. Sesudahnya setelah waktu berlalu, ia tiba-tiba melihat sifat tipuan pada kekayaan itu dan memilih hidup sebagai petapa di pegunungan Himalaya.

Ia  duduk bermeditasi pada suatu hari, dan ketika ia membuka matanya ia melihat di depannya  luar  biasa  seorang  wanita cantik,  gemilang dan gemerlapan seakan-akan ia terbuat dari emas.

"Siapa engkau itu dan engkau berbuat apa di sini?" tanyanya.

"Aku ini dewi  Laksmi,  yang  kau  hormati  dengan  mendaras kidung  nyanyian  selama  duabelas tahun," kata sang wanita,
"Aku ini menampakkan diri untuk mengabulkan keinginanmu."
 
"Ah, sang dewi tercinta,"
seru  orang  itu.  "Aku  sekarang sudah mendapat berkat bermeditasi dan kehilangan keinginanku akan kekayaan. Engkau  datang  terlambat.  Katakan,  mengapa engkau datang begitu lambat?"

"Untuk  berkata kepadamu sebenarnya," jawab sang dewi, "Jika ingat akan  sifat  upacara  yang  kaulakukan  begitu  setia, engkau   sepenuhnya  pantas  menjadi  kaya.  Tetapi,  karena cintaku kepadamu dan keinginanku akan kesejahteraanmu,  maka kutahan dulu."

Jika  anda  boleh  pilih, maka yang anda utamakan pengabulan permohonan  anda  atau  rahmat  tetap  berdamai  entah doa dikabulkan atau tidak?
                   (DOA  SANG  KATAK 1, Anthony de Mello SJ,
                        Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1996)




Friday, September 17, 2010

When Puak loves vampires..

---------

Tertawalah. Biar tidak stress. Itu obat manjur, kata orang.
Itu juga kuanjurkan sebelum membaca tulisanku hari ini.

Tanya kenapa. Iya, kenapa? Kenapa aku suka vampire, yang juga disebut drakula, blood sucker?
(aku tahu, kau sudah tahu kenapa. Karena jawabannya udah ditenggorokanmu dan tinggal menghamburkannya di depanku.. iya kan?)

Padahal, vampire itu ceritanya adalah mahluk yang menakutkan, mahluk abadi yang bisa terus hidup dengan meminum darah manusia normal.
Padahal akupun pernah nonton film Interview with Vampire - nya Brad Pitt waktu masih sekolah dulu. Film menjijikan yang aku tidak mengerti jalan ceritanya. Jadi, jangan tanya aku lagi. Lupa. Tak berkesan.

Tiba-tiba saja, ketika aku sudah berusia segini, punya suami, punya anak, aku terserang demam parah.
Terserang fenomena Twilight Saga!. Aku terserang demam parah ini ketika aku tidak lagi remaja.
Salahkan Stephenie Meyer!.. Dia membuatku dan jutaan wanita muda dan tua di dunia ini gila mendadak.

Lalu salahkan teman kantorku Joy Siahaan itu. Beberapa bulan yang lalu, dia bilang gini: "New Moon filmnya itu bagus, Puak. Nggak bohong aku, tapi nontonlah dulu Twilight biar kau tahu jalan ceritanya".

Nggak bohong, katanya. Berarti layak dipertimbangkan oleh akal sehatku.
DVD Twilight itu akhirnya terselip diantara beberapa DVD lain yang aku beli pulang kerja di salah satu ITC.

Walaupun nyaris tak tersentuh, karena aku kurang begitu suka film 'bo'ongan' (hihi.. padahal semua film bo'ongan, dodol!), aku menontonnya jauh setelah film2 lain habis kutonton.
Apa lacur, Edward Cullen membuatku lupa cara mingkem dan berkedip yang benar.

Sini, mendekatlah!.. kukasih tahu.
Kenapa aku suka Edward Cullen?.. *tarik nafas, dengan pikiran menerawang jauh*
Karena dia bisa mendidihkan darah mudaku.
Hahaha.. mendidih!.. kesannya bernafsu dan beracuunn!..

Gini,..
Seakan-akan, ada first love yang tertinggal.
Seakan-akan, ada first love yang terlengkapi.
Seakan-akan, aku boleh mundur kemasa-masa sekolah dulu.
Mendadak romantis.
Dan aku boleh menghalalkannya..

Singkat cerita, jadilah aku punya DVD Twilight, DVD New Moon, dan lengkap dengan 4 buku novelnya.
Aku menonton dan membacanya berulang-ulang. Edward seakan-akan nyata dalam alam khayalku.
Sampai aku rela mengantri premier Eclipse dan berebutan dengan para ABG. Sendiri!.




Nah, sekarang. Kalau saja si Stephenie Meyer itu melanjutkan cerita Twilight Saga ini, aku akan berterima kasih yang tulus padanya.
Dan sambil menunggu mukjizat itu terjadi, suatu hari aku mampir ke Gramedia. Mencoba menemukan at-least-sama-dengan Twilight Saga. Cerita vampir yang lain.

Banyak juga ternyata. Tapi pilihanku jatuh pada Darren Shan.
Aku beli 2 packet bukunya sekaligus yang berisi 8 buku cerita vampire.



Hahaha!.. ini cerita vampir menjijikan. Vampirenya kumuh, jelek dan mencoba menakut2iku.
Jauh berbeda dengan koleksiku yang pertama.

Blah!.. najis tralala.
Nantilah, kalau aku punya niat melanjutkan baca packet kedua yang berisi 4 buku itu, akan aku bahas di blog ini lagi.

Ada waktu, sodara?.. mendengar curahan hatiku tentang Edward Cullen?
Aku tunggu di YM!.. Mwaaach!



.
.

Hi Blog!


Kemana aja??.. yang punya libur, kau ikutan liburan pulak.
Tak terasa, liburan 10 hari itu berlalu begitu saja. Kemana?.. disini saja.

Aku lebih banyak menghabiskan waktuku bekerja keras, menyapu, ngepel, masak, melototin dan nungguin junior makan. Selebihnya aku membaca dan nonton. Korea! .. apa?.. iya, serial drama Korea sampai semalam suntuk, sampai sesegukan sendiri tengah malam.

Sesekali ngajak junior juga keluar rumah menikmati Jakarta dan sekitarnya yang lengang. Badannya boleh kecil, tapi semangat juangnya ngelayap seharian sama senior, kuacungin jempol. Seperti tak kenal capek.
Nah, tibalah malam.. ketika dia tidur. Ngigo gak jelas. Capek yang tersirat.

Menghabiskan waktu dirumah sepanjang hari berasa seperti perempuan dan ibu. Ah, juniorku,.. kau ternyata mahluk jahil, galak, tukang ngabisin kesabaranku, dan pemecah ketawa membahanaku. I love you. and your father too. *kedip2 ganjen*

Nah, blog,.. sudah kubuka hari ini dengan menulis seadanya.
Ayo, semangatlah! 
.

Thursday, September 2, 2010

SylLou [2]



Dulu. Setahun yang lalu, perempuan ini memboncengku dalam keadaan setengah mabuk di motornya. Aku memeluknya dari belakang, mengirup wangi rambutnya yang ditiup angin dan sepenuh harap dia akan menerimaku kembali.
Tapi, tidak mudah baginya ketika terluka untuk memaafkanku begitu saja. Ia menutup pintu rumahnya. Pintu hatinya.

Jangan bilang, aku bisa berlalu begitu saja. Jangan bilang, aku melupakan itu semua. Jangan.
Setahun bukan waktu sesaat untuk melenyapkannya dari celah-celah kosong dikepalaku. Setahun itu tidak mampu melemahkan titik-titik syarafku untuk melepaskannya. Karena aku memang tak ingin.

Aku belum tahu apa yang terjadi sesudah ini. Mengenal Lou tidak seperti melihat rumah kaca dengan isinya yang terlihat jelas. Ia tidak banyak bicara. Sepertinya hanya ada dia dan dirinya. Misteri bagiku. Tapi entah kenapa, tatapan matanya selalu menyentuhku. Aku bisa merasakannya di dalam hatiku.

Ketika mata itu menyiratkan luka, aku pun bisa merasakannya. Terlebih ketika akulah penyebabnya. Dia membuatku merasa bersalah lebih daripada kusangka. Dan tatapan itupun mampu membuatku pergi sesaat setelah pintu itu tertutup.

Saat ini, aku membawa Lou pulang kerumahnya. Saat ini, aku yang memboncengnya pulang dengan motornya. Dia memelukku dalam hening. Seperti biasa, aku menikmati keheningan ini. Aku bahagia bisa merasakannya lagi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Nanti, sampai dia bicara dan menatapku lagi.

"Mau ke pantai?", tanya Lou ketika kami sampai di depan pagar rumahnya.
"Boleh.. kau tidak istirahat dulu?".
Dia menggelengkan kepalanya. Lalu tangannya meraih tanganku.
Kemudian kami berjalan menuju pantai. Dia memeluk tanganku. Matanya menatap jauh ke ujung pantai.
Aku tersenyum. Lou dan pantainya. Seperti dulu.

Kami duduk di pasir yang masih hangat. Langit berganti gelap kemerahan mengikuti matahari yang merambat turun di ujung sana.
Lou memeluk lututnya. Melindungi dirinya, seperti yang biasa dilakukannya. Dan mataku, tak lepas dan tak pernah puas memandangnya. Ini seperti mimpi bagiku. Mimpi yang berulang.

"Kenapa kamu mencariku, Syl?"
, tanyanya tanpa membalas tatapanku.
Aku diam. Bukan mencari alasan. Bukan berpikir. Aku masih menikmati mimpi ini dan tak ingin terjaga.

"Syl?", tanyanya lagi. Ia menolehkan kepalanya menatapku.
Aku mengangguk. "Carikan aku alasan itu, Lou.. kenapa aku berada disini. Bersamamu. Merasakan lagi saat seperti ini.."

"Kau akan kecewa, Syl. Bukan disini tempatnya kau bisa bahagia..", jawabnya. Ia kembali menatap kedepan.
"Kenapa?.. kau tak ingin?", tanyaku berbisik. Aku menghindari jawabannya. Apapun itu.
Tapi Lou hanya menggelengkan kepalanya.

"Kenapa, Lou?.. kau sudah menemukan lelaki itu?". Aku berbisik lagi. Aku tersakiti dengan pertanyaanku sendiri.
Sekali lagi Lou menggelengkan kepalanya. "Tidak ada lelaki lain.. aku juga tidak punya siapa-siapa untuk kucintai. Hanya aku."

"Tidak juga aku?"
"Kenapa kau datang lagi, Syl?..".
"Karena aku mencintaimu Lou. Aku minta ma...."
"Sssh.. aku sudah memaafkanmu. Kau lupa?"


"Jadi izinkan aku, Lou.."
Dia menyunggingkan senyumnya sedikit. Menggeleng lagi. Menolak lagi.

"Kau mau dengar kisahku?", tanyanya.
"Tentu saja. Apapun, Lou..", jawabku penuh harap.

"Sejak beberapa tahun yang lalu, aku menamakan pantai ini dengan nama Ben. Pantai Ben.", katanya membuka kisah.
Aku membiarkannya bercerita. Menikmati bibir itu bergerak mengungkapkan apa yang tidak bisa kubaca, yang tidak pernah ku tahu.

"Ben adalah seorang yang pernah kucintai. Lelaki yang mengisi kekosongan, kehampaan diriku setelah orang tuaku mengabaikanku. Masa kecil dan masa remaja yang menyedihkan. Dia seperti doa yang terjawab di sepanjang hidupku. Aku seakan punya tempat untuk menyandarkan kepalaku yang lelah. Ia mengobati luka hatiku yang membusuk bertahun-tahun lamanya. Dahagaku akan kasih sayang terpuaskan sudah sejak dia tinggal disini bersamaku..". Lou tersenyum. Matanya menerawang jauh, kembali pada masa bahagianya sendiri.

Ada rasa sesak didadaku mendengarkan kisah secuil yang sangat berarti ini baginya. Namun, kutahan bibirku berbicara. Belum tentu aku bisa merasakan Lou berbicara seperti ini. Akan kutahan sakitku sendiri.

"Kau tahu, Syl?.. ternyata bahagiaku terbatas. Alam semesta iri dengan kebahagianku. Sedemikian rupa cara, perlahan-lahan bahagia itu ditarik keluar. Lilin yang dulu menyinariku dipadamkan. Bahkan sumbunya ditarik demi menghancurkanku.".
Lou menarik nafasnya, menyembunyikan wajahnya diatas lengan yang masih memeluk kedua lututnya.

"Apa yang terjadi?"
tanyaku tanpa bisa menahan diriku lagi.

Hening. Aku menyentuh pundaknya. Menahan diriku memeluknya. "Sudahlah, jangan ceritakan lagi kalau itu membuatmu sedih", ucapku.

Lou mengangkat kepalanya, mengusap kedua pipinya dari air mata. Tanpa memandangku, ia meneruskan ceritanya. "Ben meninggal karena sakit parah. Dia meninggalkanku. Sebelum menutup matanya dia berkata sampai kapanpun dia tidak akan meninggalkanku. Dia akan selalu ada dirumahku, di halamanku, dikamarku, dan dipantai ini. Apapun istilahnya, dia memang selalu ada. Aku bisa merasakannya. Aku seakan bisa melihatnya. Terlebih ketika aku terluka."

"Tapi aku tidak bisa mengingkari bahwa dia memang sudah tidak ada. Perlahan, semakin hari semakin nyata ketiadaannya bersamaku.."

"sampai aku datang, menghiburmu dan kemudian melukaimu?..", sambungku.

Perempuan itu tersenyum sendu menatapku. Lagi, ia menggelengkan kepalanya, dan menurunkan kedua lututnya.
Ia menepuk lembut pahanya. "Sini, rebahkan kepalamu. Kau terlihat lelah, Syl."

Dengan patuh, aku membaringkan kepalaku dipangkuannya. Ada kelegaan disana. Aku menutup kedua mataku.
Rasa bersalah itu masih menghalangi pandanganku dari matanya.

"Kau rindu aku?",
tanya Lou lembut. Tangannya mengusap rambut dari keningku.
Aku mengangguk. Aku tidak akan berkata apa-apa dulu, Lou. Saat ini terlalu indah bagiku.


Related Posts with Thumbnails