Aku mau tanya. Apa yang membuatmu bisa tidak menyukai orang lain?.. Penampilannya kah?.. Kelakuannya kah?..
Ah, lupakan pertanyaan itu. Aku hanya berharap, itu adalah kalimat pembuka yang bagus, di saat aku sibuk dengan strategi, presentasi, dan activity plan .. dan di saat aku tidak punya ide menulis apapun, selain karena Riris Ernaerni yang terlahir bawel itu menagih janji, seperti debt collector koperasi simpan pinjam di ... FACEBOOK!
Cerita sebelumnya:
-
Tentang Puak dan Edward (1)
-
Tentang Puak dan Edward (2)
............
Aku nyesel sebenarnya nulis kata 'bersambung' di akhir cerita dan nomor di belakang judul :
Tentang Puak dan Edward. Seperti berhutang budi. Padahal, cerita aku dan Edward kan nggak mengalir begitu saja. Harus melalui proses mimpiin Edward dulu, trus dia datang, dan meninabobokkanku.
*ngasih kantong buat yang mabuk laut*
Jadi cerita Edward gendong aku itu bener adanya. Rencana semula memang gendong depan, tapi karena baru pertama kali gendong aku, dan dia takut terjadi bahaya nyungsep waktu landing, jadilah aku gendong di belakang saja. Kita melayang menuju parkiran dimana jaguarku diparkir.
Jaguar.. kalian tahu jaguar itu kan?.. bukan, bukan pelawak.. itu Cagur, bodoh!.. tapi mobil mewah!.. ah, bisa kutebak,.. di mimpi pun bahkan kamu tak pernah merasakan menumpanginya apalagi mengendarainya. Benar, kan??
Siang itu Jakarta macet, panasnya terik, tapi nggak berasa kalau dalam gendongan Edward. Tapi.. memang, setelah landing nggak ada bedanya seperti habis naik bajaj. Getarannya sama, baunya sama dan kusutnya juga sama. Sampai di parkiran, udah kayak orang2an sawah.. sumpah, nggak ada satupun burung pipit yang melirik.
"Puak?..", tanya lelaki ganteng itu. Dia masih menggendongku. Aku masih bengong.
"Puak?.. Beib?", tanyanya lagi. Ah, nikmatnya panggilan itu. Aku menguatkan pelukanku di lehernya.
Edward melirik ke belakang, wajahnya hanya berjarak 20 milimeter dari wajahku.
"Aku pegel. Bisa turun dulu nggak.. kalau kau nggak turun, kita berdua bisa ambruk, puak..".
Aku tersenyum. Manja. Membayangkan ambruk berdua saja, sudah membuatku berdenyut di beberapa titik. Malu dengan lamunanku sendiri, aku pun melorot dari punggungnya.
Tak berapa lama kemudian, kami sudah berada dalam Jaguar itu. Dia berada dibelakang kemudi. Aku duduk disebelahnya. Sesekali dia memandangku dengan matanya yang hijau itu. Ganteng sangat. Ingin salto ditempat rasanya dipandang seperti itu.
"Kok kamu liat-liat aku sih?". Semoga ini salah satu kalimat romantis yang pernah ada.
Dia tersenyum.
"Emang kalau aku lihat kamu, kamu selalu gelisah seperti itu ya?", tanyanya.
"Nggak juga.. aku merasa cantik aja dipandang begitu", jawabku polos. [Begini ini nih, yang suka bikin semua skenario melenceng]
Edward ngakak. Ngakak aja ganteng, bok!.
"Kamu pede ya, puak... aku suka". [Puak: Alhamdulillah, Ya Allah!]
"Belok kiri, Edward.. ", ucapku waktu kami hampir melewati sebuah perapatan.
"Kamu tinggal di daerah sini, Puak?", tanya Edward ketika melewati rumah2 megah dan mewah di kanan kiri jalan yang kami lewati.
Aku menggeleng sambil menjawab,
"nggak.."
"Trus..??"
"mau naro jaguar di kandangnya..", jawabku santai.
"aku nggak ngerti".
"kau pikir jaguar ini punyaku?.. ini punya boss-ku. Mau tak balikin, tadinya ban depan sana bocor.. aku disuruh bawa ke bengkel khususnya.. trus, langsung tak bawa meeting.. dan sekarang mau tak balikin...
hmmm.. jangan bilang kalau kamu cowok matre Edward....".
Edward menggeleng. Menyesal?
"Nggak.. aku bisa punya lebih dari ini. Aku cuma mikir.. setelah kita mengantar jaguar ini.."
"Emang kenapa, setelah itu?", tanyaku heran. Bulu kudukku meremang.
"Kamu nggak tahu?"
"nggak..". Mati deh gue, kalau tahu umpannya Jaguar, mending tadi nggak dibalikin dulu.
Ia menarik nafas, bibirnya menahan tawa sekaligus duka.
"Aku nggak tahu, ungkapan ini pas apa nggak.. hmm.. luka lama berdarah lagi".
"luka?.. ini ada hubungannya sama masa lalu kamu?"
"berarti ungkapan tadi salah. bukan, puak.."
"trus..?.. jangan berbelit2 dong.. mati penasaran kata orang nggak enak, tauk!"
"hihihi.. kamu yakin nggak tersinggung?.. aku pembunuh tubuh, tapi bukan pembunuh hati dan jiwa, puak.."
Ini bukan rasa takut lagi yang timbul. Gemes. Ganteng tapi pekok. Ngomong aja ngelantur kemana-mana.
"Udaahh.. ngomongnya buruan. Udah mau sampai tuh.."
"Nanti aja ya, kalau udah nyampe dan kamu balikin jaguar ini", jawabnya santai.
"ok..".
Setelah aku mengantar jaguar itu dengan sejumput tips dari pembokat rumah (kirain sopir beneran kali), aku melangkah cepat menuju pohon dimana Edward sedang menungguku.
"Sekarang apa?", tanyaku menahan sabar.
"Kita jalan kaki aja, ya?". Ia memohon dengan tatapan ingin dikasihani.
"Dodol!... bilang aja sih, kalau punggungmu masih pegel gendong aku tadi..!!", ucapku sambil melipat tangan di dada. Sebel.
"Ayolah, jalan. Nanti kalau ada mikrolet.. kau yang bayar ongkosnya ya!", ancamku.
Edward tidak menjawabku, tapi memelukku sebagai ungkapan terima kasihnya dan bersedia bayar ongkos mikrolet.
Akhirnya sore itu aku berjalan bergandeng tangan dengan Edward.
Bersambung, gak ya? :D