Dulu. Setahun yang lalu, perempuan ini memboncengku dalam keadaan setengah mabuk di motornya. Aku memeluknya dari belakang, mengirup wangi rambutnya yang ditiup angin dan sepenuh harap dia akan menerimaku kembali.
Tapi, tidak mudah baginya ketika terluka untuk memaafkanku begitu saja. Ia menutup pintu rumahnya. Pintu hatinya.
Jangan bilang, aku bisa berlalu begitu saja. Jangan bilang, aku melupakan itu semua. Jangan.
Setahun bukan waktu sesaat untuk melenyapkannya dari celah-celah kosong dikepalaku. Setahun itu tidak mampu melemahkan titik-titik syarafku untuk melepaskannya. Karena aku memang tak ingin.
Aku belum tahu apa yang terjadi sesudah ini. Mengenal Lou tidak seperti melihat rumah kaca dengan isinya yang terlihat jelas. Ia tidak banyak bicara. Sepertinya hanya ada dia dan dirinya. Misteri bagiku. Tapi entah kenapa, tatapan matanya selalu menyentuhku. Aku bisa merasakannya di dalam hatiku.
Ketika mata itu menyiratkan luka, aku pun bisa merasakannya. Terlebih ketika akulah penyebabnya. Dia membuatku merasa bersalah lebih daripada kusangka. Dan tatapan itupun mampu membuatku pergi sesaat setelah pintu itu tertutup.
Saat ini, aku membawa Lou pulang kerumahnya. Saat ini, aku yang memboncengnya pulang dengan motornya. Dia memelukku dalam hening. Seperti biasa, aku menikmati keheningan ini. Aku bahagia bisa merasakannya lagi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Nanti, sampai dia bicara dan menatapku lagi.
"Mau ke pantai?", tanya Lou ketika kami sampai di depan pagar rumahnya.
"Boleh.. kau tidak istirahat dulu?".
Dia menggelengkan kepalanya. Lalu tangannya meraih tanganku.
Kemudian kami berjalan menuju pantai. Dia memeluk tanganku. Matanya menatap jauh ke ujung pantai.
Aku tersenyum. Lou dan pantainya. Seperti dulu.
Kami duduk di pasir yang masih hangat. Langit berganti gelap kemerahan mengikuti matahari yang merambat turun di ujung sana.
Lou memeluk lututnya. Melindungi dirinya, seperti yang biasa dilakukannya. Dan mataku, tak lepas dan tak pernah puas memandangnya. Ini seperti mimpi bagiku. Mimpi yang berulang.
"Kenapa kamu mencariku, Syl?", tanyanya tanpa membalas tatapanku.
Aku diam. Bukan mencari alasan. Bukan berpikir. Aku masih menikmati mimpi ini dan tak ingin terjaga.
"Syl?", tanyanya lagi. Ia menolehkan kepalanya menatapku.
Aku mengangguk. "Carikan aku alasan itu, Lou.. kenapa aku berada disini. Bersamamu. Merasakan lagi saat seperti ini.."
"Kau akan kecewa, Syl. Bukan disini tempatnya kau bisa bahagia..", jawabnya. Ia kembali menatap kedepan.
"Kenapa?.. kau tak ingin?", tanyaku berbisik. Aku menghindari jawabannya. Apapun itu.
Tapi Lou hanya menggelengkan kepalanya.
"Kenapa, Lou?.. kau sudah menemukan lelaki itu?". Aku berbisik lagi. Aku tersakiti dengan pertanyaanku sendiri.
Sekali lagi Lou menggelengkan kepalanya. "Tidak ada lelaki lain.. aku juga tidak punya siapa-siapa untuk kucintai. Hanya aku."
"Tidak juga aku?"
"Kenapa kau datang lagi, Syl?..".
"Karena aku mencintaimu Lou. Aku minta ma...."
"Sssh.. aku sudah memaafkanmu. Kau lupa?"
"Jadi izinkan aku, Lou.."
Dia menyunggingkan senyumnya sedikit. Menggeleng lagi. Menolak lagi.
"Kau mau dengar kisahku?", tanyanya.
"Tentu saja. Apapun, Lou..", jawabku penuh harap.
"Sejak beberapa tahun yang lalu, aku menamakan pantai ini dengan nama Ben. Pantai Ben.", katanya membuka kisah.
Aku membiarkannya bercerita. Menikmati bibir itu bergerak mengungkapkan apa yang tidak bisa kubaca, yang tidak pernah ku tahu.
"Ben adalah seorang yang pernah kucintai. Lelaki yang mengisi kekosongan, kehampaan diriku setelah orang tuaku mengabaikanku. Masa kecil dan masa remaja yang menyedihkan. Dia seperti doa yang terjawab di sepanjang hidupku. Aku seakan punya tempat untuk menyandarkan kepalaku yang lelah. Ia mengobati luka hatiku yang membusuk bertahun-tahun lamanya. Dahagaku akan kasih sayang terpuaskan sudah sejak dia tinggal disini bersamaku..". Lou tersenyum. Matanya menerawang jauh, kembali pada masa bahagianya sendiri.
Ada rasa sesak didadaku mendengarkan kisah secuil yang sangat berarti ini baginya. Namun, kutahan bibirku berbicara. Belum tentu aku bisa merasakan Lou berbicara seperti ini. Akan kutahan sakitku sendiri.
"Kau tahu, Syl?.. ternyata bahagiaku terbatas. Alam semesta iri dengan kebahagianku. Sedemikian rupa cara, perlahan-lahan bahagia itu ditarik keluar. Lilin yang dulu menyinariku dipadamkan. Bahkan sumbunya ditarik demi menghancurkanku.". Lou menarik nafasnya, menyembunyikan wajahnya diatas lengan yang masih memeluk kedua lututnya.
"Apa yang terjadi?" tanyaku tanpa bisa menahan diriku lagi.
Hening. Aku menyentuh pundaknya. Menahan diriku memeluknya. "Sudahlah, jangan ceritakan lagi kalau itu membuatmu sedih", ucapku.
Lou mengangkat kepalanya, mengusap kedua pipinya dari air mata. Tanpa memandangku, ia meneruskan ceritanya. "Ben meninggal karena sakit parah. Dia meninggalkanku. Sebelum menutup matanya dia berkata sampai kapanpun dia tidak akan meninggalkanku. Dia akan selalu ada dirumahku, di halamanku, dikamarku, dan dipantai ini. Apapun istilahnya, dia memang selalu ada. Aku bisa merasakannya. Aku seakan bisa melihatnya. Terlebih ketika aku terluka."
"Tapi aku tidak bisa mengingkari bahwa dia memang sudah tidak ada. Perlahan, semakin hari semakin nyata ketiadaannya bersamaku.."
"sampai aku datang, menghiburmu dan kemudian melukaimu?..", sambungku.
Perempuan itu tersenyum sendu menatapku. Lagi, ia menggelengkan kepalanya, dan menurunkan kedua lututnya.
Ia menepuk lembut pahanya. "Sini, rebahkan kepalamu. Kau terlihat lelah, Syl."
Tapi, tidak mudah baginya ketika terluka untuk memaafkanku begitu saja. Ia menutup pintu rumahnya. Pintu hatinya.
Jangan bilang, aku bisa berlalu begitu saja. Jangan bilang, aku melupakan itu semua. Jangan.
Setahun bukan waktu sesaat untuk melenyapkannya dari celah-celah kosong dikepalaku. Setahun itu tidak mampu melemahkan titik-titik syarafku untuk melepaskannya. Karena aku memang tak ingin.
Aku belum tahu apa yang terjadi sesudah ini. Mengenal Lou tidak seperti melihat rumah kaca dengan isinya yang terlihat jelas. Ia tidak banyak bicara. Sepertinya hanya ada dia dan dirinya. Misteri bagiku. Tapi entah kenapa, tatapan matanya selalu menyentuhku. Aku bisa merasakannya di dalam hatiku.
Ketika mata itu menyiratkan luka, aku pun bisa merasakannya. Terlebih ketika akulah penyebabnya. Dia membuatku merasa bersalah lebih daripada kusangka. Dan tatapan itupun mampu membuatku pergi sesaat setelah pintu itu tertutup.
Saat ini, aku membawa Lou pulang kerumahnya. Saat ini, aku yang memboncengnya pulang dengan motornya. Dia memelukku dalam hening. Seperti biasa, aku menikmati keheningan ini. Aku bahagia bisa merasakannya lagi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Nanti, sampai dia bicara dan menatapku lagi.
"Mau ke pantai?", tanya Lou ketika kami sampai di depan pagar rumahnya.
"Boleh.. kau tidak istirahat dulu?".
Dia menggelengkan kepalanya. Lalu tangannya meraih tanganku.
Kemudian kami berjalan menuju pantai. Dia memeluk tanganku. Matanya menatap jauh ke ujung pantai.
Aku tersenyum. Lou dan pantainya. Seperti dulu.
Kami duduk di pasir yang masih hangat. Langit berganti gelap kemerahan mengikuti matahari yang merambat turun di ujung sana.
Lou memeluk lututnya. Melindungi dirinya, seperti yang biasa dilakukannya. Dan mataku, tak lepas dan tak pernah puas memandangnya. Ini seperti mimpi bagiku. Mimpi yang berulang.
"Kenapa kamu mencariku, Syl?", tanyanya tanpa membalas tatapanku.
Aku diam. Bukan mencari alasan. Bukan berpikir. Aku masih menikmati mimpi ini dan tak ingin terjaga.
"Syl?", tanyanya lagi. Ia menolehkan kepalanya menatapku.
Aku mengangguk. "Carikan aku alasan itu, Lou.. kenapa aku berada disini. Bersamamu. Merasakan lagi saat seperti ini.."
"Kau akan kecewa, Syl. Bukan disini tempatnya kau bisa bahagia..", jawabnya. Ia kembali menatap kedepan.
"Kenapa?.. kau tak ingin?", tanyaku berbisik. Aku menghindari jawabannya. Apapun itu.
Tapi Lou hanya menggelengkan kepalanya.
"Kenapa, Lou?.. kau sudah menemukan lelaki itu?". Aku berbisik lagi. Aku tersakiti dengan pertanyaanku sendiri.
Sekali lagi Lou menggelengkan kepalanya. "Tidak ada lelaki lain.. aku juga tidak punya siapa-siapa untuk kucintai. Hanya aku."
"Tidak juga aku?"
"Kenapa kau datang lagi, Syl?..".
"Karena aku mencintaimu Lou. Aku minta ma...."
"Sssh.. aku sudah memaafkanmu. Kau lupa?"
"Jadi izinkan aku, Lou.."
Dia menyunggingkan senyumnya sedikit. Menggeleng lagi. Menolak lagi.
"Kau mau dengar kisahku?", tanyanya.
"Tentu saja. Apapun, Lou..", jawabku penuh harap.
"Sejak beberapa tahun yang lalu, aku menamakan pantai ini dengan nama Ben. Pantai Ben.", katanya membuka kisah.
Aku membiarkannya bercerita. Menikmati bibir itu bergerak mengungkapkan apa yang tidak bisa kubaca, yang tidak pernah ku tahu.
"Ben adalah seorang yang pernah kucintai. Lelaki yang mengisi kekosongan, kehampaan diriku setelah orang tuaku mengabaikanku. Masa kecil dan masa remaja yang menyedihkan. Dia seperti doa yang terjawab di sepanjang hidupku. Aku seakan punya tempat untuk menyandarkan kepalaku yang lelah. Ia mengobati luka hatiku yang membusuk bertahun-tahun lamanya. Dahagaku akan kasih sayang terpuaskan sudah sejak dia tinggal disini bersamaku..". Lou tersenyum. Matanya menerawang jauh, kembali pada masa bahagianya sendiri.
Ada rasa sesak didadaku mendengarkan kisah secuil yang sangat berarti ini baginya. Namun, kutahan bibirku berbicara. Belum tentu aku bisa merasakan Lou berbicara seperti ini. Akan kutahan sakitku sendiri.
"Kau tahu, Syl?.. ternyata bahagiaku terbatas. Alam semesta iri dengan kebahagianku. Sedemikian rupa cara, perlahan-lahan bahagia itu ditarik keluar. Lilin yang dulu menyinariku dipadamkan. Bahkan sumbunya ditarik demi menghancurkanku.". Lou menarik nafasnya, menyembunyikan wajahnya diatas lengan yang masih memeluk kedua lututnya.
"Apa yang terjadi?" tanyaku tanpa bisa menahan diriku lagi.
Hening. Aku menyentuh pundaknya. Menahan diriku memeluknya. "Sudahlah, jangan ceritakan lagi kalau itu membuatmu sedih", ucapku.
Lou mengangkat kepalanya, mengusap kedua pipinya dari air mata. Tanpa memandangku, ia meneruskan ceritanya. "Ben meninggal karena sakit parah. Dia meninggalkanku. Sebelum menutup matanya dia berkata sampai kapanpun dia tidak akan meninggalkanku. Dia akan selalu ada dirumahku, di halamanku, dikamarku, dan dipantai ini. Apapun istilahnya, dia memang selalu ada. Aku bisa merasakannya. Aku seakan bisa melihatnya. Terlebih ketika aku terluka."
"Tapi aku tidak bisa mengingkari bahwa dia memang sudah tidak ada. Perlahan, semakin hari semakin nyata ketiadaannya bersamaku.."
"sampai aku datang, menghiburmu dan kemudian melukaimu?..", sambungku.
Perempuan itu tersenyum sendu menatapku. Lagi, ia menggelengkan kepalanya, dan menurunkan kedua lututnya.
Ia menepuk lembut pahanya. "Sini, rebahkan kepalamu. Kau terlihat lelah, Syl."
Dengan patuh, aku membaringkan kepalaku dipangkuannya. Ada kelegaan disana. Aku menutup kedua mataku.
Rasa bersalah itu masih menghalangi pandanganku dari matanya.
"Kau rindu aku?", tanya Lou lembut. Tangannya mengusap rambut dari keningku.
Aku mengangguk. Aku tidak akan berkata apa-apa dulu, Lou. Saat ini terlalu indah bagiku.
No comments:
Post a Comment